Minggu, 19 Juni 2016

Tarian Klasik Keraton Jawa

Bedhaya Minangkalbu berbincang tentang kisah anak manusia dalam mengarungi hidup. Proses dilewati untuk menemukan kesejatian hidup.

Sembilan penari memasuki altar tari. Berlemah gemulai mereka berjalan berurutan. Tiba di tengah ruang, mereka sejenak merendahkan tubuh sampai posisi pinggul hampir sejengkal dari lantai.

Mereka tidak berbeda dalam busana, rias, maupun tata rambut. Para penari mengenakan dodot atau basahan. Penari juga menggunakan gelung rambut dan berbagai aksesori perhiasan, mirip seperti busana pengantin adat Jawa.

Iringan gamelan lembut mengalun. Bunyian itu serasa membimbing masuk dalam alam syahdu. Meski penuh bunyian, suasana yang terasa justru keheningan. Tidak ada suara mengentak sadar. Semua mengalir lembut. Berpadu gerak dengan gamelan pengiring. Bersama, mereka menari dengan halus dan tentram.

Sesaat kemudian mereka menundukkan badan sembari mengambil ancang-ancang untuk menyatukan telapak tangan tepat. Mereka menghormat kepada semua yang hadir. Bukan bermaksud menyembah sebab itu hanya sebagai penghormatan. Saat mereka menghormat, ke-10 jemari mengarah ke atas. Itu simbol pernyataan sembah kepada Sang Pencipta.

Penari membawakan peran dengan nama yang berbeda-beda, yaitu Batak, Gulu, Dhadha, Endhel Weton, Endhel Ajeg, Apit Meneng, Apit Wingking, Apit Ngajeng, dan Buncit. Kesemuanya menyimbolkan unsur yang terdapat dalam diri manusia. Batak sebagai simbol pikiran dan jiwa. Endhel Ajeg sebagai keinginan hati atau nafsu, sedangkan yang lain merujuk pada anggota tubuh.

Mereka menarikan tari Bedhaya Minangkalbu, sebutan berasal dari bahasa Sansekerta, yakni bedhaya. Kata itu punya arti menari berjajar bersama. Itulah sebabnya mereka berjumlah sembilan orang. Kesemuanya wanita.

Bedhaya ialah bentuk tarian klasik Jawa yang dikembangkan di kalangan keraton-keraton pewaris takhta Mataram. Bedaya ditarikan secara gemulai dalam tempo yang lambat, tentu dengan iringan gamelan, meski terkadang hanya beberapa alat dari gamelan yang dibunyikan saat gerak tertentu. Tarian Bedhaya sering kali merupakan hasil inspirasi raja mengenai suatu peristiwa tertentu.

Bedhaya merupakan tarian klasik Jawa dengan sembilan penari meski terdapat beberapa Bedhaya dengan tujuh penari yang dikembangkan di kalangan keraton pewaris takhta sejak zaman Kerajaan Mataram. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari, menurut Eny Sulistyowati, menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai sembilan dewa (Nawasanga). Atau versi lain menyebut sebagai lambang Sembilan Wali atau Wali Songo.

Disakralkan

Memang terdapat beberapa tarian Bedhaya yang disakralkan dan dikeramatkan. Bahkan beberapa Bedhaya mensyaratkan penari masih perawan, tidak sedang dalam masa menstruasi, dan didahului semacam puasa sebagai bagian prasyarat. Tarian Bedhaya jenis ini hanya ditarikan dalam saat tertentu, tidak diperkenankan ditarikan dalam setiap momen.

"Bedhaya memang ada beberapa yang tidak boleh dipertunjukkan di luar keraton," terang pencipta Bedhaya Minangkalbu, Eny Sulistyowati. Seperti Bedhaya Ketawang yang ditarikan saat perayaan jumenengan dalem (pelantikan) Sunan Surakarta. Tarian ini menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul serta perjanjian keduanya untuk saling menjaga kedua kerajaan.

Ada pula Bedhaya Anglirmendung untuk mengenang pertempuran yang dipimpin Sri Mangkunegara I melawan pasukan gabungan Surakarta dan VOC di Ponorogo pada 1752.

Sesuai dengan khas Bedhaya yang punya cerita tentang sesuatu, Bedhaya Minangkalbu berbincang tentang kisah anak manusia dalam mengarungi hidup. Proses dilewati untuk menemukan kesejatian hidup. Bedhaya Minangkalbu bicara tentang kesejatian diri. Sebuah upaya untuk menemukan inti kebahagiaan yang tidak berhijab. Meraih hati di dalam hati. Sebuah keikhlasan tanpa batas. Sebuah rasa tanpa rasa. "Jadi semua rasa yang disebut bahagia dan senang sebenarnya tidak ada rasanya untuk orang yang ikhlas. Apalagi derita ataupun sedih," terang Eny.

Minangkalbu diambil dari sebuah lakon pewayangan Dewa Ruci. Lakon tersebut berkisah tentang Bima saat mencari ilmu kesempurnaan tentang makna kesejatian hidup. Minangkalbu ialah dasar samudra yang menjadi tempat Bima bertemu Dewa Ruci. Minangkalbu sekaligus menjadi tempat Bima menemukan kedamaian dan kebahagiaan.

"Jadi Minangkalbu sebenarnya inti pusaran samudra," sambung Eny.

Minangkalbu diambil dari kisah yang dialami Eny sebagai pencipta tarian. Ia berkaca pada proses kehidupan yang dialaminya. Seketika berada di puncak kejayaan, beberapa saat kemudian terpuruk dalam kenestapaan. Saat menemui banyak hambatan dan ringtangan, justru saat itulah ia menemukan kekuatan, semata-mata karena keikhlasan dan kepasrahan kepada Sang Pencipta.

"Di dalam kejatuhanku, aku temukan kekuatanku," tegas Eny. Minangkalbu juga menyoroti tentang mikrokosmos dan makrokosmos. Hubungan timbal balik antara manusia dan jagad (alam). Juga sumber inti meridian organ tubuh manusia yang terhubung dalam konstruksi kejiwaan manusia, 'nawa yatmaka' (babahan hawa sembilan).

"Sehingga Bedhaya merupakan perwujudan dari patrap manembah. Banyak nilai diungkapkan, seperti pencarian kesempurnaan hidup, penemuan jati diri, keserasian, keselarasan, keseimbangan hidup, cinta damai, tentang kewicaksanaan dan laku utama," papar Eny seraya menyebut tarian karyanya ialah sekaligus wujud bakti pada ibunya.

Proses 'ngrepto' (menciptakan) tarian ini juga tidak sebentar. Tarian Minangkalbu butuh waktu sekitar setahun untuk dikontemplasikan. Belum lagi proses penerjemahan dari konsep tari ke bentuk tari.

Gerak tarian yang lembut dan mengalun bukan diperoleh dari hasil hitungan yang disepakati para penari. Ketika mereka tengah menari, justru yang paling berperan ialah rasa gerak. Jelang pementasan pun masih ada beberapa ritual yang harus dijalani. Dari mulai prosesi pemberkatan di Kasunanan Surakarta sampai prosesi sengkeran (pingitan) para penari.

Biasanya, sehari sebelum pementasan, para penari menyatukan seluruh energi positif sekaligus menolak energi negatif. Mereka bersama berdoa dan membersihkan diri lahir batin, sekaligus menyatukan rasa untuk membangun sinergi harmoni, guna mempersembahkan tarian tentang 'rasa tanpa rasa' dan 'zikir lewat gerak'. (M-2)

Penulis: Abdillah M Marzuqi
www.mediaindonesia.com